Jumat, 15 Agustus 2014

Hukum Puasa Hari Jum’at dan Sabtu

Ditulis oleh Dewan Asatidz Tanya:Saya pernah mendengar dari guru ngaji saya bahwa puasa Hari Jum’at atau Sabtu (?) –saya agak lupa mana yang benar– hukumnya makruh jika tidak digandeng dengan hari sebelum atau sesudahnya. Benarkah pendapat ini dan adakah dalilnya? Terimakasih. Hanni Jawab: Saudari Hanni, Melaksanakan puasa pada hari Jum’at dan Sabtu bila tidak digandeng dengan hari sebelumnya atau sesudahnya hukumnya makruh. Dalam sebuah hadis Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Janganlah salah satu dari kalian puasa di hari Jum’at kecuali bila berpuasa sebelum atau sesudahnya” (H.R. Bukhari Muslim). Dalam hadis Abu Hurairah yang lain, Rasulullah bersabda, “Jangan kalian menghususkan malam Jum’at dengan shalat yang lain dari malam lainnya. Dan jangan kalian khususkan hari Jum’at dengan puasa yang lain dari hari lainnya, kecuali puasa yang telah biasa dilakukan”. (H.R. Muslim). Bahkan ada riwayat dari Ummul Mu’minin Juwairiyah, “Rasulullah masuk kepadanya ketika sedang puasa pada hari Jum’at, lalu Rasulullah, “Apakah engkau puasa kemarin?”. Ummul Mu’minin menjawab, “Tidak”. Lalu Rasulullah bertanya kembali, “Apakah besok engkau ingin berpuasa kembali?”. “Tidak”, jawabnya. Lalu Rasulullah bersabda, “Berbukalah!” (H.R. Bukhari). Dan masih banyak hadis-hadis sahih yang menunjukkan bahwa puasa hari Jum’at hukumnya makruh kecuali disambung dengan hari sebelumnya atau sesudahnya. Akan tetapi, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menyatakan boleh saja berpuasa pada hari Jum’at. Alasannya, hari Jum’at mempunyai banyak keutamaan dan puasa pada hari itu dapat menambah keutamaan seseorang yang menjalankan ibadah. Tentang puasa pada hari Sabtu, terdapat hadis Shamma’. Rasulullah bersabda, “Janganlah berpuasa pada hari Sabtu kecuali bila itu wajib. Apabila kalian tidak menemukan makanan kecuali sebutir biji-bijian atau seutas akar, maka makanlah ia” (H.R. Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya. Al-Tirmizi mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai sanad bagus). Namun ada riwayat Ummu Salamah yang menyatakan, “Hari di mana Rasulullah banyak menjalankan puasa adalah hari Sabtu dan Ahad (Minggu). Rasulullah bersabda bahwa keduanya merupakan hari raya orang musyrik, maka aku ingin bersikap beda dari mereka” (H.R. al-Nasa’i dan al-Baihaqi). Para ulama melihat bahwa menghususkan hari Sabtu dengan puasa tetap makruh. Adapun hadis yang menunjukkan Nabi berpuasa pada hari Sabtu adalah karena Rasulullah menyambungnya dengan hari Ahad dan Senin, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah (H.R. al-Tirmizi). Wallahu A’lam. Dari Muhammad bin ‘Abbaad bin Ja’far beliau mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdillah: ‘Apakah Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam melarang puasa di hari Jum’at?’ Dia menjawab: ‘Ya.’” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1984, Muslim dalam kitab Shiyam no. 1143) Imam Muslim memberikan tambahan riwayat: “(ya) Demi Rabb ka’bah.” Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau bekata: Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa di hari Jum’at, kecuali sehari sebelum atau sesudahnya berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1985, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1144, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2420, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 743, Ibnu Maajah di kitab Shiyam no. 1723) Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah: 1. Larangan mengerjakan puasa di hari Jum’at saja. 2. Hal itu boleh dilakukan apabila diiringi puasa sehari sebelum atau sesudahnya, atau karena bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dikerjakan (misal Puasa Dawud, pent). 3. Larangan puasa di dalam hadits ini dibawa menuju hukum makruh li tanzih (bukan haram) karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallamTaisirul’Allaam pernah berpuasa pada hari itu dalam rangkaian puasa yang biasa beliau lakukan. Beliau memberikan keringanan bolehnya berpuasa pada hari itu apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya, seandainya larangan ini dibawa ke hukum haram niscaya tidak boleh puasa di hari itu sebagimana haramnya berpuasa di hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (lihat juz I hal. 391). • LARANGAN PENGKHUSUSAN PUASA HARI JUM’AT Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa alasan dilarangnya pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa ? Apakah termasuk juga puasa pengganti (pembayaran hutang puasa) ? Jawaban. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. “Artinya : Janganlah kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at, kecuali jika berpuasa sehari sebelum atau setelahnya” [Ditakhrij oleh Muslim : Kitabush Shaum/Bab Karahiatu Shiyam Yaumul Jum'ah Munfaridan (1144)] Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum’at dengan puasa adalah bahwa hari Jum’at merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyariatkan ; karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul Adha dan Hari raya mingguan yakni hari Jum’at. Oleh sebab itu hari ini terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum’at adalah hari yang sepatutnya seseorang lelaki mendahulukan shalat Jum’at, menyibukkan diri berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama’ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia disibukkan dengan do’a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa ketika saling berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan ibadah yang tak bisa ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda. Apabila ada orang yang berkata, “Sesungguhnya alasan ini, bahwa keadaan Jum’at sebagai hari raya mingguan seharusnya menjadikan puasa pada hari itu menjadi haram sebagaimana dua hari raya lainnya (Fitri dan Adha) tidak hanya pengkhususannya saja”. Kami katakan, “Dia (Jum’at) berbeda dengan dua hari raya itu ; sebab dia berulang di setiap bulan sebanyak empat kali, karena ini tiada larangan yang berderajat haram padanya, selanjutnya di sana ada sifat-sifat lain dari dua hari raya tersebut yang tidak didapatkan di hari Jum’at. Adapun apabila dia berpuasa satu hari sebelumnya atau sehari sesudahnya maka puasanya ketika itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa ; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari Sabtu. Sedangkan soal seorang penanya, “Apakah larangan ini khusus untuk puasa nafilah (sunah) atau juga puasa Qadha (pengganti hutang puasa) ? Sesungguhnya dhahir dalilnya umum, bahwa makruh hukumnya mengkhususkan puasa sama saja apakah untuk puasa wajib (qadla) atau puasa sunnah, -Ya Allah-, kecuali kalau orang yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya sehingga dia bisa membayar hutang puasanya kecuali pada hari Jum’at, ketika itu dia tidak lagi makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa ; karena dia memerlukan hal itu. • APAKAH PUASA WISHAL ITU ? Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah puasa Wishal itu? Apakah puasa itu termasuk diperintahkan ? Jawaban Puasa wishal adalah apabila seseorang berbuka selama dua hari lalu menyambung (melangsungkan) puasa dua hari secara berturut-turut. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perbuatan ini, beliau bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang ingin menyambung puasa maka hendaklah dia menyambung puasa sampai sahur saja” [Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum. Bab Wishal (menyambung puasa) sampai sahur 19670)] Orang yang menyambung puasa sampai sahur termasuk bab kebolehan, tetapi tidak termasuk dianjurkan, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menyegerakan berbuka, beliau bersabda. “Artinya : Tidak henti-hentinya manusia dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa” Akan tetapi mereka diperbolehkan untuk menyambung puasa sampi sahur saja, tatkala para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya engkau menyambung puasa”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya keadaanku tidak sebagaimana keadaan kalian”[Ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Kitabush Shaum/Bab Barakatus Sahur fie ghairi ijab 1922 dan Muslim dalam Kitabus Shaum/Bab An-Nahyu anil wishal 1102] • HUKUM BERPUASA DI BULAN SYA’BAN Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya berpuasa pada bulan Sya’ban ? Jawaban Berpuasa pada bulan Sya’ban adalah sunah, memperbanyak puasa di bulan itu juga merupakan sunah sampai-sampai Aisyah Radhiyallahu ‘anha bertutur: “Aku tidak pernah melihat beliau (Nabi) berpuasa lebih banyak daripada di bulan Sya’ban” [Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum, Bab Puasa Sya’ban 1969] Sebaikny memperbanyak puasa di bulan Sya’ban menurut hadits ini. Para ulama berkata : “Puasa di bulan Sya’ban sebagaimana sunat rawatib bagi lima shalat fardhu, seolah-olah dia mendahului puasa Ramadhan, maksudnya seakan-akan dia menjadi rawatibnya bulan Ramadhan. Karena itu sunnah puasa di bulan Sya’ban dan sunah puasa enam hari di bulan Syawal seperti rawatib sebelum shalat wajib dan sesudahnya. Dalam puasa di bulan Sya’ban terdapat manfaat yang lain yakni mempersiapkan diri dan menyiagakannya untuk berpuasa agar dirinya menjadi siap mengerjakan puasa Ramadhan, menjadi mudah baginya untuk menunaikannya. • HUKUM PUASA ASYURA Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya puasa Asyura? Jawaban. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari kesepuluh bulan Muharram, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian!, lalu beliau mengerjakan puasa pada hari itu dan memerintahkan muslimin untuk berpuasa padanya” [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Puasa Hari Asyura 2004. Muslim Kitab Syiyam/Bab Puasa Hari Asyura 1130] Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma yang disepakati keshahihannya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh untuk berpuasa padanya. Ditanyakan kepada beliau tentang keutamaan puasa hari itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Artinya : Aku mengharap kepada Allah untuk menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Disukainya berpuasa tiga hari tiap bulan atau puasa di hari Arafah 1162] Akan tetapi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah itu memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi dengan berpuasa satu hari sebelumnya yakni tanggal 9 Muharram atau satu hari sesudahnya yakni tanggal 11 Muharram. Atas dasar itu, yang paling utama adalah berpuasa pada hari kesepuluh (10 Muharram) lalu merangkaikan satu hari sebelumnya, atau satu hari sesudahnya. Tambahan di hari kesembilan lebih utama daripada hari kesebelas. Sebaiknya engkau, wahai saudaraku muslim, berpuasa hari Asyura, demikian juga hari kesembilan Muharram [Majmu Fatawa Arkanul Islam edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Pustaka Arafah] Fadilatusy Syaikh ditanya: Apa alasan dilarangnya pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa? Dan apakah ini khusus untuk puasa sunnah saja atau umum bagi puasa qadha juga?Maka Asy-Syaikh menjawab:Telah tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian khususkan hari Jum’at dengan berpuasa, dan tidaklah pula malamnya untuk ditegakkan (shalat)”. (HR Muslim, Kitabus Shiam Bab Makruhnya Puasa Khusus di Hari Jum’at 1144). Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum’at dengan puasa adalah bahwa hari Jum’at merupakan hari raya dalam tujuh hari (seminggu-ed). Hari Jum’at juga merupakan salah satu hari raya dari tiga hari raya yang disyari’atkan. Di dalam Islam terdapat tiga hari raya: Hari raya Idul Fitri setelah Ramadhan, Hari Raya Idul Adhha, dan hari raya mingguan yaitu hari Jum’at. Ini merupakan salah satu alasan larangan mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa. Selain itu hari Jum’at adalah hari dimana sudah sepantasnya bagi seorang laki-laki mengedepankan shalat Jum’at pada hari itu, menyibukkan diri dengan doa, dan berdzikir karena hari Jum’at ini serupa dengan hari Arafah yang tidak disyaratkan bagi jama’ah haji untuk berpuasa pada hari Arafah itu. Hal ini karena dia sibuk dengan doa dan dzikir. Dan telah diketahui pula bahwa ada ibadah-ibadah yang saling bertabrakan, dan mungkin untuk mendahulukan sebagiannya maka didahulukan ibadah yang tidak bisa ditunda dari ibadah yang bisa ditunda. Jika seseorang berkata, “Jika alasannya karena hari Jum’at adalah hari raya dalam seminggu, maka ini mengharuskan puasanya haram sebagaimana di dua hari raya yang lain, tidak hanya dengan mengkhususkannya saja” Kami katakan, “Sesungguhnya hari Jum’at berbeda dengan dua hari raya tersebut, karena hari Jum’at terulang sampai empat kali dalam sebulan. Oleh karena itu larangannya tidaklah sampai pada derajat haram. Di sana terdapat juga makna-makna lain pada dua hari raya yang tidak ditemukan pada hari Jum’at”. Adapun jika dia berpuasa di hari sebelumnya atau di hari setelahnya maka puasanya saat itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari Sabtu. Sedangkan pertanyaan penanya, “Apakah larangan ini khusus untuk puasa sunnah atau umum bagi puasa qadha juga (membayar hutang puasa wajib Ramadhan-ed)? Maka sesungguhnya zhahir dalilnya bersifat umum, bahwa hukumnya makruh mengkhususkan puasa. Sama saja apakah untuk puasa yang wajib atau puasa sunnah, Allahumma, kecuali jika orang tersebut bekerja dan tidak punya waktu luang dari pekerjaannya sehingga dia tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada hari Jum’at, maka ketika itu tidaklah makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa. Ini karena dia memerlukan hal tersebut. Demikian nukilan dari fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, bisa dirujuk di halaman 444-445. Wallahu a’lam bish shawab. Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin